Senin, 03 Desember 2007

PELAKSANAAN MANAJEMEN SEKOLAH

PADA SATUAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR

DI KOTA BENGKULU[1]

Syukri Hamzah[2]

Abstract

The objective of study is to describe of executed management pattern at Elementary School in Bengkulu city. Research Method in this study are indeep interview and observation by using compatible list. The obtained result indicate that executed management pattern still is old paradigm management pattern, not yet expressed School Based Management pattern intactly, because still the limited existing support. Management function not yet walked effectively. Quality of citizen professional go to school still lower. Therefore, require to strive more intensive construction again.

Kata Kunci

pola manajemen, MBS, pemberdayaan, profesional

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan salah satu sarana strategis bagi peningkatan mutu sumber daya manusia. Oleh karena itu, seringkali pendidikan merupakan salah satu tolok ukur bagi tingkat kemajuan suatu bangsa. Atas dasar itu pula, upaya untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan akan senantiasa dilakukan. Kondisi pendidikan kita saat ini masih sangat memperihatinkan yang ditandai oleh tingkat kualitas sumber daya kita yang diukur berdasarkan HDI (Human Development Index) berada pada urutan 109 dari 172 negara, suatu kondisi yang jauh tertinggal dari beberapa negara tetangga kita di ASEAN. Salah satu upaya pemerintah yang menyangkut upaya perbaikan sistem pengelolaan pendidikan di sekolah agar lebih bermutu, efisien, dan efektif adalah dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah yang dikenal dengan istilah MBS. Program ini lebih dititikberatkan pada upaya pemberian kewenangan pengelolaan sekolah yang semula sentralistik, kemudian secara bertahap kewenangan pengelolaan sekolah diserahkan kepada sekolah sebagai salah satu wujud disentralisasi pendidikan.

Sehubungan dengan pola pelaksanaan MBS tersebut khususnya SD, masih terdapat sejumlah permasalahan. Salah satu permasalahannya adalah masih terbatasnya pemahaman pihak sekolah akan makna dan konsekuensi dari pelaksanaan MBS itu sendiri.

Pada beberapa sekolah rintisan pelaksanaan MBS di beberapa sekolah di Indonesia, menunjukkan prestasi hasil belajar yang cukup baik. Namun, di sisi lain terdapat pula sekolah-sekolah yang belum menerapkan MBS ternyata menunjukkan prestasi hasil belajar yang tidak kalah baiknya dengan sekolah yang melaksanakan pengelolaan dengan pendekatan MBS.

Hal ini menunjukkan adanya suatu kemungkinan pengelolaan alternatif –selain MBS-- yang juga dapat meningkatan kualitas pengelolaan manajemen sekolah yang juga berdampak pada prestasi hasil belajar yang akan dicapai.

Atas dasar hal tersebut itulah pengkajian ini dilaksanakan untuk menemukan faktor-faktor dalam pengelolaan sekolah yang dominan yang dianggap dapat meningkatkan kualitas pengelolaan sekolah, khususnya pada satuan pendidikan SD.

B. Permasalahan

Pertanyaan pokok yang akan dikaji dalam penelitian ini meliputi:

1. Bagaimanakah pengelolaan manajemen pada sekolah unggul/ favorit?

2. Faktor-faktor apakah yang menjadikan sekolah tersebut unggul/difavoritkan masyarakat?

3. Apakah pelajaran berharga yang dapat dipetik dari pengelolaan manajemen sekolah tersebut?

4. Bagaimanakah pengelolaan manajemen SD dan TK yang ada dalam satu lingkungan?

C. Tujuan Pengkajian

Secara umum tujuan yang hendak dicapai dalam pengkajian ini adalah untuk :

1. Mendapatkan data dan informasi tentang pola pelaksanaan manajemen yang dapat meningkatkan mutu sekolah

2. Mengetahui kesiapan sekolah dalam melaksanakan MBS.

3. Menemukan faktor-faktor dominan yang mampu mendukung keberhasilan pengelolaan sekolah dilihat dari sisi aspek prestasi sekolah.

Secara khusus, tujuan pengkajian yang hendak dicapai berkenaan dengan pengelolaan manajemen sekolah dasar adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan pola-pola manajemen sekolah dasar yang dilaksanakan selama ini.

2. Mendeskripiskan variabel-variabel dominan yang mempengaruhi kualitas dan asas pengelolaan sekolah.

3. Menemukan hubungan kausalitas antara variabel kualitas dan asas pengelolaan sekolah serta peran serta masyarakat.

4. Melakukan pengkajian secara teoritis mengenai hubungan pengelolaan sekolah dan kualitas hasil belajar.

5. Mendeskripsikan kesiapan sekolah pada umumnya bila akan menerapkan kebijakan manajemen dengan pendekatan MBS sebagaimana yang diterapkan pada sekolah rintisan.

6. Mendeskripisikan hubungan pengelolaan manajemen SD yang berada dalam sati lingkungan dengan TK.

7. Menyusun rekomendasi dan implikasi kebijakan ke depan berkenaan dengan pengelolaan sekolah baik pada SD yang telah melaksanakan MBS maupun yang belum, kepada pemerintah terutama pada lingkungan satuan pendidikan SD secara keseluruhan.

D. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian difokuskan pada pola pengelolaan sekolah secara implementatif melalui suatu observasi yang bersifat ilumintatif, terutama dalam melihat persepsi kepala sekolah terhadap kebermaknaan pelaksanaan manajemen sekolah yang dapat diterapkan disekolahnya, khususnya terhadap kemungkinan adanya modifikasi MBS oleh kepala sekolah guna menyesuaikan dengan kondisi daerah.. Karena itu, sumber data penelitian selain sekolah adalah stakeholder, yakni guru, orang tua murid dan masyarakat di sekitar sekolah.

Secara khusus lingkup kajian akan mengamati hal-hal yang berkaitan dengan masalah:

1. Pemberdayaan/peningkatan kualitas profesional staf dan guru

2. Peningkatan kualitas proses pembelajaran/pemberdayaan murid

3. Pola kepemimpinan yang dilakukan kepala sekolah.

4. Pengelolaan lingkungan sekolah dan pengaruhnya

5. Pengelolaan tenaga kependidikan yang ada di sekolah.

6. Pembinaan budaya mutu di sekolah.

7. Pengelolaan kerja sama sekolah dengan warga sekolah (staf, guru, murid, dan masyarakat/komite sekolah)

8. Pengelolaan dan pembinaan lingkungan belajar.

E. Kajian Pustaka

Sebagaimana dipahami bahwa manajemen sekolah adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan pengelolaan proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, baik untuk jangka pendek, menengah, maupun tujuan jangka panjang. Karena itu, fungsi manajemen sekolah tersebut sangat penting bagi pencapaian tujuan pendidikan secara optimal, efektif dan efisien. Atas dasar itu, maka berbagai pola manjemen telah coba diterapkan di sekolah-sekolah kita, dan yang terakhir saat ini manajemen yang diterapkan dikenal dengan nama “Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah” yang lebih dikenal dengan “Manajemen Berbasis Sekolah”.

Manajemen berbasis sekolah ( MBS) adalah suatu strategi untuk meningkatkan kinerja pengelolaan pendidikan dengan pemindahan otoritas pengambilan keputusan penting ke sekolah secara mandiri, khususnya berkenaan dengan pelaksanaan fungsi-fungsi pokok manajemen yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pembinaan. Dalam kaitan ini manajemen berbasis sekolah memberikan kesempatan lebih besar kepada sekolah yang melaksanakan MBS untuk melaksanakan fungsi-fungsi pokok tersebut kepada sekolah, khususnya warga sekolah yang mencakup kepala sekolah, para guru, para siswa, dan orang tua siswa untuk terlibat secara aktif dalam proses pendidikan dengan cara memberi mereka tanggung jawab terhadap keputusan terutama yang berkenaan dengan masalah anggaran, personil, pengelolaan sarana dan prasarana serta kurikulum. Melalui keterlibatan tersebut, maka di dalam pengambilan keputusan kunci ini, MBS diharapkan dapat menciptakan hasil belajar dan lingkungan belajar yang lebih efektif bagi peserta didik.

Karena itu, bila dicermati konsep MBS tersebut pada dasarnya menawarkan kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah dengan tanggung jawab masing-masing yang dikembangkan atas dasar memberikan kesempatan kepada sekolah untuk secara mandiri meningkatkan kualitas pendidikan melalui pengelolaan sumber daya yang ada secara aktif dan dinamis. Konsekuensi logis dari prinsip ini sebagaimana dikemukakan oleh Umaedi (1999) bahwa setiap sekolah harus mampu menerjemahkan dan menangkap esensi kebijakan makro pendidikan serta memahami kondisi lingkungannya untuk kemudian melalui proses perencanaan, sekolah harus memformulasikannya ke dalam kebijakan mikro dalam bentuk program-program prioritas yang harus dilaksanakan dan dievaluasi oleh sekolah yang bersangkutan sesuai dengan visi dan misinya masing-masing. Dengan demikian, walaupun sekolah bersifat mandiri dalam pengambilan keputusannya tetapi masih tetap dalam kerangka acuan kebijakan nasional dan ditunjang dengan penyediaan input yang memadai, memiliki tanggung jawab terhadap pengembangan sumber daya yang dimilikinya sesuai dengan kebutuhan belajar siswa dan permintaan masyarakat.

MBS itu sendiri –selain sekolah rintisan-- baru dilaksanakan pada sekolah-sekolah pada awal tahun ajaran 2004-2005, mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Sekolah Menengah Atas. Sejauh ini pelaksanaan model manajemen berbasis sekolah yang diterapkan berpedoman pada petunjuk yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Karenanya, sebagai suatu model manajemen yang baru, tentu saja pelaksanaannya di lapangan akan bervariatif sesuai dengan interpretasi masing-masing sekolah. Namun demikian, hal ini dapat dipahami, karena kebutuhan yang ada serta keadaan sumber daya serta sarana dan prasarana di setiap sekolah juga bervariasi, termasuk lingkungan masyarakatnya. Sehubungan dengan itu, kemampuan untuk menyerap dan menyesuaikan kebutuhan belajar siswa, memahami keragaman kebutuhan guru dan staf lainnya dalam pengembangan profesionalnya, penyesuaian dengan kondisi lingkungan yang ada di setiap sekolah, serta harapan orang tua dan masyarakat –sebagai warga sekolah-- akan pendidikan yang bermutu, mensyaratkan adanya pada pihak-pihak yang terlibat di dalamnya secara langsung maupun tidak langsung sebagaimana yang dikemukakan di atas. Kemampuan merespon dan mengapresiasikan kondisi tersebut dalam proses pengambilan keputusan perlu dicermati agar kebijakan yang diambil tetap berjalan dalam koridor yang telah ditentukan. Hal ini disebabkan oleh kenyataan beragamnya kondisi latar belakang dan kemampuan warga sekolah yang ada di setiap sekolah. Kondisi yang tidak diharapkan dapat saja terjadi, bilamana pemahaman terhadap konsep MBS oleh warga sekolah kurang baik serta pembinaan yang kurang dari pihak-pihak yang terkait.

Penelitian yang dilaksanakan oleh Pusat Kompetensi Bidang Pendidikan di Universitas California Selatan di Los Angeles terhadap sekolah yang melaksanakan MBS dan yang tidak melaksanakan, menunjukkan bahwa tidak terdapat cukup bukti bahwa MBS mampu membina ke arah peningkatan mutu sekolah, pendidik, dan pembuat kebijakan, bahkan lebih jauh malah menimbulkan pertanyaan tentang kebijakan desentralisasi pengelolaan tersebut (http/www.ed.gov/pubs/SER/ SchBasedMgmt /execsum.htm, 1996).

Kegagalan pelaksanaan MBS tersebut menurut penelitian mereka umumnya disebabkan karena (1) Sekolah lebih mengutamakan pekerjaan dengan agenda mereka sendiri dengan pemimpin yang otokratis yang tidak membantu perkembangan, sehingga rasa memiliki dan tanggung jawab guru sangat kurang; (2) Pengambilan keputusan terpusat pada dewan tunggal (kelompok tertentu di sekolah); (3) Sering terjadi permintaan yang tinggi dari unsur yang terlibat pada MBS, sehingga pelaksanaan pekerjaan akan memakan waktu yang lama serta melalui suatu proses yang sulit (http/www.ed.gov/pubs/SER/SchBasedMgmt/ execsum.htm,1996). Sedang-kan sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa untuk melaksanakan MBS diperlukan pemberdayaan semua unsur sumber daya yang terlibat (warga sekolah) secara terstruktur dan terencana dengan baik.

Di sisi lain, pengelolaan MBS yang sukses ditandai oleh hal-hal sebagai berikut: (1) Pengambilan keputusan dilakukan dengan melibatkan konstituen sekolah secara luas serta adanya komunikasi yang efektif secara vertikal dan horizontal yang diarahkan pada upaya perbaikan yang berkelanjutan; (2) Menempatkan kegiatan pengembangan profesional staf sebagai suatu prioritas yang tinggi; (3) Menciptakan jaringan komunikasi dan informasi yang intens dengan orang tua dan masyarakat, sehingga dapat mewujudkan pelayanan yang baik kepada pelanggan; (4) Melaksanakan strategi “penghargaan” terhadap staf dan guru yang berprestasi sehingga baik staf maupun guru termotivasi dan bergairah dengan iklim tersebut; (5) Memilih orang-orang yang mampu mengkoordinir serta menjadi panutan untuk menggerakkan staf dan guru, sehingga terwujud tanggung jawab dan kebersamaan untuk maju bersama; dan (6) Melaksanakan petunjuk serta kerja sama dengan pihak terkait, khususnya Pemerintah daerah untuk mewujudkan visi sekolah (http/www.ed.gov/pubs/SER/SchBasedMgmt/ execsum.htm, 1996).

Hal-hal yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa upaya peningkatan kualitas pengelolaan manajemen sekolah harus dilakukan dengan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, serta pemberdayaan segenap sumber daya yang ada dan pembinaan yang melibatkan semua unsur yang terkait dengan sekolah. Selain itu, manajemen yang dilaksanakan harus dapat menciptakan suatu iklim yang mampu meningkatkan gairah dan motivasi kerja secara profesional terhadap staf dan guru, serta rasa kepedulian dan tanggung jawab warga sekolah yang lain terhadap keberhasilan sekolah. Konsekuensi logisnya, manajemen yang dilaksanakan hendaknya memenuhi unsur-unsur kebutuhan berikut: (1) mempunyai dukungan staf sekolah yang kuat, (2) staf sekolah harus ditingkatkan kemampuannya dengan cara memberikan pelatihan administratif agar dapat melakukan penyesuaian dengan perannya yang baru, (3) tersedianya dukungan finansial yang memadai serta waktu untuk pertemuan-pertemuan staf reguler, dan (4) pemerintah secara konsisten mengalihkan otoritas kewenangan utama dan selanjutnya otoritas ini dapat di bagi dengan para guru dan orang tua.

Merujuk pada hal-hal yang telah dikemukakan di atas, maka dalam melaksanakan manajemen sekolah –termasuk MBS--, pihak sekolah harus mampu mengaplikasikan fungsi-fungsi pokok manajemen secara optimal dan baik yang dalam pelaksanaannya memperhatikan lima hal berikut, yaitu yang berkaitan dengan kewajiban sekolah, kebijakan dan prioritas pemerintah, peranan orang tua dan masyarakat, peranan profesionalisme dan manajerial, dan pengembangan profesi guru dan staf.

F. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode survei, yaitu suatu metode penelitian yang digunakan untuk mengkaji populasi dengan menyeleksi serta mengkaji sampel terpilih dari populasi guna menemukan insidensi, distribusi, dan inter-relasi relatif dari variable-variabel sosiologis dan psikologis. Di samping itu, metode survei dapat pula dirancang untuk memperoleh informasi tentang berbagai gejala yang terjadi pada saat penelitian (Kerlinger, 1996:660). Dalam penelitian ini, metode survei digunakan untuk memperoleh data dan mengkaji beberapa variabel manajemen di Sekolah Dasar.


G. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kota Bengkulu dengan keseluruhan waktu yang digunakan untuk kegiatan ini tiga bulan. Dua minggu pertama digunakan untuk melakukan persiapan pelaksanaan penelitian yang mencakup persiapan administrasi, penyusunan proposal, penyusunan instrumen, dan penjajagan lokasi penelitian. Dua bulan kedua merupakan kegiatan pokok penelitian yang meliputi pengumpulan data lapangan, verifikasi data, dan analisis data, serta menulis draft laporan penelitian . Sedangkan dua minggu terakhir digunakan untuk menyiapkan laporan akhir serta pengiriman laporan dan sosialisasi hasil penelitian melalui seminar nasional.

H. Populasi dan Sampel

Populasi teoretik penelitian ini adalah semua Sekolah Dasar baik negeri maupun swasta dan Sekolah Dasar dan Taman Kanak-kanak yang berada dalam satu lingkungan sekolah, baik negeri maupun swasta yang berada di wilayah Kota Bengkulu, yang berjumlah 81 SD Negeri dan 5 SD Swasta. Dari sekolah-sekolah tersebut yang berada dalam satu lingkungan dengan TK, dua SD negeri dan satu swasta.

Penarikan sampel terjangkau dilakukan secara purposif sampling berdasarkan kriteria yang telah ditentukan dalam TOR Berdasarkan kriteria tersebut, sekolah yang terpilih sebagai sampel adalah:

1. SD Negeri 1 Bengkulu (sekolah yang difavoritkan masyarakat)

2. SD Negeri 71 Bengkulu

3. SD Negeri 69 (sekolah yang berada satu lingkungan dengan TK)

4. SD Negeri 5 Bengkulu

5. SD Muhammadiyah 1 Bengkulu

I. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian dilakukan dengan menggunakan wawancara, dan daftar cocok (Check List). Wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam (indeep interview) yang ditujukan kepada unsur-unsur yang terlibat dalam manajemen sekolah, yakni Kepala sekolah, guru, staf, dan stakeholder (komite sekolah, orang tua murid, dan masyarakat). Sedangkan, daftar cocok digunakan pada saat observasi lapangan guna melihat realita di lapangan secara langsung, yang pada gilirannya akan digunakan sebagai bahan pelengkap dalam wawancara.

J. Teknik Analisis data

Analisis data dilakukan secara kualitatif, yakni secara deskriptif argumentatif dengan langkah-langkah yang ditempuh adalah pendeskripsian data, analisis, dan penyimpulan.


K. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Deskripsi Hasil Penelitian

Hasil observasi dan wawancara yang ditujukan kepada kepala sekolah, guru, dan komite sekolah pada sekolah sampel terjangkau di wilayah Kota Bengkulu secara umum diperoleh data sebagai berikut:

a. Pola Manajemen Sekolah dalam Pemberdayaan Guru dan Staf

Pola manajemen pemberdayaan guru dan staf dilakukan dilaksanakan dengan upaya-upaya sebagai berikut:

1) Memberikan kesempatan kepada SDM yang ada di sekolah untuk meningkatkan kualitas profesional melalui pendidikan dan pelatihan dalam rangka meningkatkan mutu pelaksanaan pendidikan dan keluarannya.

2) Melaksanakan komunikasi secara kontinu antara kepala sekolah dan guru dalam memecahkan masalah PBM serta dalam rangka mengevaluasi pelaksanaan PBM melalui diskusi antar guru atau rapat yang melibatkan kepala sekolah dan guru.

3) Membina komitmen yang tinggi terhadap sekolah dan pendidikan, baik kepala sekolah, guru, dan staf guna meningkatkan mutu pendidikan, sehingga rasa tumbuh rasa bersaing yang sehat antara sesamanya untuk berprestasi. Komitmen itu dibangun atas dasar dasar rasa senang terhadap tugasnya dan terbuka dalam menerima perubahan dan masukan yang membangun dan penekannya pada kedisiplinan dalam pelaksanaan tugas.

4) Meningkatkan motivasi guru dan staf dalam melaksanakan tugasnya sehingga stakeholder pendidikan memiliki kemauan yang kuat pula untuk ikut serta dalam membina sekolah.

c. Pola Pemberdayaan Murid

Pola manajemen pemberdayaan murid dilakukan melalui upaya-upaya sebagai berikut:

1) Memberikan motivasi untuk mencapai prestasi yang tinggi pada murid dengan cara memberikan penghargaan terhadap murid yang berhasil mencapai prestasi tinggi.

2) Memberi kesempatan untuk ikut dalam lomba-lomba antar sekolah guna menumbuhkan rasa bersaing yang positif pada diri anak. Penerapan pola ini diharapkan akan menumbuhkan apresiasi yang positif dari masyarakat terhadap sekolah-sekolah yang memiliki prestasi tinggi.

3) Komunikasi guru dengan siswa dilakukan secara intensif dengan cara memperhatikan kemampuan dan kelemahan individu anak dalam belajar. Dalam hal ini, peraturan dan tata tertib sekolah menjadi pegangan baik pada guru maupun siswa dalam menjalankan kegiatan sekolah sehari-hari.

4) Menganjurkan siswa mengikuti bimbingan belajar/les serta belajar kelompok khususnya untuk meningkatkan mutu hasil belajarnya serta mutu capaian mutu pendidikan umumnya.

d. Kepemimpinan Kepala Sekolah

Rangkuman hasil penelitian berkenaan dengan kepemimpinan kepala sekolah adalah menekankan kepada upaya untuk:

1) Menumbuhkan dan meningkatkan disiplin, serta tanggung jawab terhadap guru, staf, dan siswa.

2) Meningkatkan komunikasi dengan stakeholder pendidikan terkait terutama berkenaan dengan masalah-masalah pendidikan yang ada di sekolah.

3) Menumbuhkan komitmen yang tinggi terhadap visi dan misi sekolah kepada segenap warga sekolah guna membantu meningkatkan kinerja sekolah guna pencapaian visi dan misi sekolah yang telah ditetapkan tersebut.

4) Melaksanakan kebijakan otonomi pendidikan dengan cara melakukan komunikasi yang luas terhadap stakeholder pendidikan yang dapat dijadikan pijakan dalam pengambilan keputusan sekolah.

5) Penanganan pengelolaan keuangan sekolah dengan memperhatikan efisiensi dan efektivitas guna kepentingan penyelenggaraan pendidikan.

6) Peningkatan kesadaran yang tinggi pada guru dan staf terhadap peranan sekolah dalam memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sumber daya manusia di era globalisasi dalam menghadapi persaingan yang ketat baik tingkat regional, nasional dan internasional.

e. Pola Manajemen terhadap Lingkungan Sekolah

Berkaitan dengan lingkungan sekolah, rangkuman hasil penelitian yang berkenaan dengan pengelolaan manajemen sekolah diperoleh data sebagai berikut, yaitu kegiatan Kepala Sekolah dan Stakeholder diarahkan kepada:

1) Penciptaan suasana sekolah yang bersih dan menyenangkan guna mewujudkan suasana belajar yang kondusif. Dengan kondisi ini diharapkan akan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa khususnya dan mutu pelaksanaan pendidikan umumnya.

2) Pemberian tanggungjawab terhadap siswa terhadap kebersihan lingkungan sekolah, dengan harapan akan mampu meningkatkan sikap disiplin dan peduli terhadap keberadaan lingkungan.

3) Menciptakan lingkungan internal dan eksternal sekolah menjadi daya tarik tersendiri pada masyarakat, yang pada gilirannya dapat menumbuhkan minat yang tinggi pada orang tua atau masyarakat untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah yang dianggapnya favorit/unggul.

f. Pola Manajemen Tenaga Kependidikan

Berkaitan dengan pengelolaan tenaga kependidikan yang ada di sekolah, rangkuman yang dapat ditarik dari hasil penelitian adalah sebagai berikut:

1) Pengambilan keputusan ataupun dalam menetapkan suatu kebijakan dilakukan dengan demokratis.

2) Pembagian wewenang terhadap guru/staf sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya.

3) Mengupayakan terwujudnya pola komunikasi yang terbuka terhadap warga sekolah untuk saling memberikan masukan yang bersifat konstruktif dalam memecahkan masalah pendidikan di sekolah.

4) Menanamkan komitmen yang tinggi terhadap guru dan staf terhadap tugas yang diembannya guna mencapai visi dan misi sekolah.

5) Mengupayakan agar guru-guru bidang studi dapat lebih menguasai bidang tugas serta keilmuannya agar dapat lebih professional dan memiliki kompetensi yang tinggi.

6) Mengaktifkan forum-forum, MKKS, MGMP sebagai wahana untuk saling memberikan masukan terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah.

g. Pola Manajemen Budaya Mutu

Berkaitan dengan budaya mutu, upaya-upaya yang umumnya dilakukan oleh pihak sekolah dapat dirangkum sebagai berikut:

1) Melakukan pembinaan kepada staf, guru, dan murid agar tertanam budaya mutu di lingkungan sekolah, sehingga orientasi kegiatan diarahkan kepada peningkatan mutu pelaksanaan dan hasil pendidikan.

2) Memberikan keteladanan terhadap murid-murid dalam meraih kesuksesan dalam belajar.

3) Mendorong murid dengan berbagai cara untuk selalu berusaha meraih yang terbaik dalam berbagai kegiatan edukasi.

4) Memiliki komitmen yang tinggi, agar lulusannya banyak diterima pada sekolah favorit tingkat SLTP.

5) Melakukan kegiatan ekstrakurikuler untuk menambah wawasan serta peningkatan kemampuan siswa agar dapat dicapai mutu hasil pendidikan yang lebih baik.

h. Pola Team Work yang Dilakukan

Para kepala sekolah umumnya menyadari bahwa upaya untuk meningkatkan mutu kinerja sekolah hanya dapat dilakukan dengan suatu kerja bareng yang dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab serta kebersamaan. Upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak sekolah menurut hasil penelitian ini mencakup hal-hal sebagai berikut:

1) Membentuk team work berdasarkan bidang keahliannya dan minat, serta kebutuhan yang dihadapi oleh sekolah. Seperti membentuk tim penanggung jawab bidang kerohanian, kesenian, dan lain-lain.

2) Memaksimalkan peran komite sekolah untuk peningkatan mutu pendidikan dengan senantiasa melakukan komunikasi serta melibatkannya dalam berbagai kegiatan yang berkenaan dengan upaya perbaikan sekolah, baik fisik maupun non fisik.

i. Pola manajemen Terhadap Lingkungan Belajar

Rangkuman hasil penelitian yang dilakukan terhadap pola manajemen yang dilakukan sekolah terhadap lingkungan belajar meliputi hal-hal sebagai berikut:

1) Menciptakan lingkungan yang bersih, asri, nyaman dalam suasana kondusif, agar siswa betah belajar di sekolah. Upaya untuk mewujudkan lingkungan belajar sebagai yang dikemukakan tersebut umumnya sangat didukung oleh stakeholder yang ditunjukkan dengan komitmennya dalam ikut serta menjaga dan membantu peningkatan sarana dan prasarana sekolah sesuai dengan kemampuan yang ada serta memanfaatkannya semaksimal mungkin.

2) Berupaya mengajak warga masyarakat sekitar sekolah untuk menjaga keapikan, kebersihan, dan keamanan kondisi sekolah. Walupun usaha ini masih terasa sedikit sulit pada sekolah yang berada di pinggiran kota.

3) Berusaha secara maksimal mengatasi permasalahan–permasalahan yang berkaitan dengan lingkungan belajar yang masih kurang.

4) Melaksanakan tata tertib sekolah dengan sebaik mungkin, baik itu menyangkut kepala sekolah, guru, staf maupun siswa.

2. Kerja Sama TK dan SD

Pada sekolah-sekolah dasar yang berdampingan dengan TK, hasil wawancara peneliti diperoleh informasi bahwa antara SD dan TK tersebut terdapat koordinasi dalam hal kelanjutan pembinaan murid TK yang melanjutkan pendidikannya di SD yang bersangkutan, terrutama informasi bagi anak yang memiliki kelainan dan talenta tertentu. Selain itu, pihak SD juga akan mengutamakan murid yang telah tamat TK tersebut bersekolah di SD-nya. Sejauh ini, kerja sama yang ada baru sebatas pemerian informasi dan penyediaan tempat bagi tamatan TK tersebut saja. Sedangkan, hal lain yang berkenaan dengan pembinaan bersama belum lagi ada.

L. Faktor Penghambat

Hasil wawancara dengan Kepala Sekolah, guru, dan komite sekolah dapat diungkap faktor-faktor dominan yang menghambat pelaksanaan manajemen sekolah, yakni antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Pendanaan yang sangat minim, khususnya pada sekolah-sekolah yang berada di lingkungan masyarakat menengah ke bawah, terlebih setelah diberlakukannya otonomi daerah dan dilaksanakannya MBS di sekolah-sekolah, subsidi pemerintah pada sekolah negeri telah dikurangi yang besarannya cukup signifikan. Sedangkan sekolah swasta bukan favorit hanya mengandalkan pembiayaan pendidikan dari pemasukan dana sumbangan masyarakat atau orang tua murid yang jumlah sangat tidak memadai. Pendanaan yang relatif memadai hanya terdapat pada sekolah yang diangap favorit oleh masyarakat. Dalam hal ini, wali murid umumnya dari kalangan ekonomi menengah ke atas secara finansial mampu memberikan partisipasinya yang cukup besar.

2. Kesadaran profesional pada banyak guru masih rendah, sehingga tugas-tugas yang dilaksanakan sebatas kegiatan rutinitasnya saja. Kreativitas pada banyak guru masih sangat kurang, umumnya dengan alasan dana dan fasilitas yang tidak mencukupi atau tidak tersedia sama sekali.

3. Pemahaman komite sekolah terhadap tugas dan fungsinya masih belum cukup memadai, terutama dalam kaitannya dengan pelaksanaan MBS serta kebutuhan pelaksanaan pendidikan yang bermutu, sehingga dukungan yang diberikan dalam penyelenggaraan pendidikan masih sangat terbatas, bahkan terdapat kecenderungan pola-pola lama (sistem BP3) dalam mencari dana untuk membantu pelaksanaan pendidikan di sekolah.

4. Kebijakan pemerintah daerah yang terkadang kurang mendukung bagi terlaksananya manajemen sekolah dengan baik, seperti penempatan dan mutasi guru yang terkadang kurang memperhatikan kebutuhan dan kondisi sekolah.

5. Tenaga kependidikan yang memiliki skill tertentu dan kreatif jumlahnya masih sangat terbatas bahkan terkadang tidak ada sama sekali di suatu sekolah, seperti banyak sekolah yang tidak ada guru olahraga.

M. Faktor Pendukung

Di samping faktor-faktor penghambat yang telah dikemukakan di atas, dalam penelitian ini dapat pula dijaring beberapa faktor pendukung, terutama dalam penyelenggaraan manajemen di sekolah. Faktor-faktor dimaksud antara lain adalah sebagai berikut:

1. Kesadaran warga sekolah dan stakeholder umumnya cukup baik dengan senantiasa memberikan dukungan positif terhadap kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh sekolah sesuai dengan kondisi dan kemampuan yang dimilikinya.

2. Komitmen para guru terhadap tugasnya cukup baik, terutama pada sekolah swasta walaupun masih terbatas pada pelaksanaan tugas semata.

N. Pembahasan

Dari rangkuman deskripsi data yang telah dikemukakan di atas kiranya dapat memberikan gambaran, bahwa pada umumnya pihak sekolah dalam upaya melaksanakan manajemen sekolah sebagaimana yang ditentukan telah diusahakan oleh setiap sekolah sebaik mungkin. Namun demikian, bila dicermati upaya-upaya tersebut masih terbatas pada upaya mengaplikasikan ketentuan yang ada dan masih bersifat rutinitas yang memang telah berlaku dan berjalan selama ini. Terobosan-terobosan kreatif oleh pihak sekolah belum begitu menonjol bahkan dapat dikatakan tidak ada sama sekali. Misalnya, dalam upaya peningkatan profesionalisme guru maupun staf, belum terlihat adanya upaya mandiri dari pihak sekolah, melainkan masih menunggu kesempatan penugasan dari pihak Dinas Diknas setempat.

Alasan pendanaan merupakan alasan yang populer yang muncul pada hampir setiap sekolah, sehingga kegiatan yang dilaksanakan hanya terbatas rutinitas saja. Sehubungan dengan itu, hampir pada setiap sekolah tidak ditemukan program sekolah yang menentukan skala prioritas sekolah berdasarkan keterbatasan pendanaan dan sumber daya yang dimilikinya di mana seharusnya pendanaan yang dianggarkan seharusnya merefleksi skala prioritas dan kondisi yang ada di sekolah tersebut.

Pada sekolah favorit, dalam catatan peneliti memang terdapat kondisi yang sedikit berbeda, selain dana yang cukup memadai juga tersedia sumber daya yang cukup handal dan kreatif, di samping fasilitas yang tersedia sedikit lebih baik dibandingkan dengan sekolah lainnya. Misalnya, guru-guru yang memiliki prestasi baik lokal maupun nasional ditempatkan di sekolah ini. Sehingga dalam banyak hal sekolah favorit nampak lebih unggul dari sekolah lainnya karena dikondisikan. Namun, dari segi pelaksanaan manajemen sekolah kondisinya tidak jauh berbeda dengan sekolah yang lain, dalam arti tidak ada hal-hal menonjol dalam pelaksanaan manajemen sekolahnya yang dapat ditularkan kepada sekolah lain.

Rutinitas dalam pelaksanaan manajemen sekolah tidak terdapat perbedaan yang menyolok. Setiap sekolah berusaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang dilaksanakannya. Hal ini merupakan kenyataan yang cukup menggembirakan, karena setiap sekolah telah berusaha secara optimal sesuai dengan kondisi yang dimilikinya.

Kenyataan-kenyataan yang diungkapkan di atas seyogyanya dicermati oleh pihak yang terkait dalam hal ini pihak Pemerintah Daeran melalui pihak Diknas setempat, terutama dalam hal pemberian dukungan bagi sekolah dalam memacu prestasi yang lebih baik lagi. Seperti halnya yang berkaitan dengan masalah pendanaan di bidang pendidikan yang merupakan hambatan umum di sekolah, sepantasnya mendapatkan perhatian yang lebih serius lagi, terutama berkenaan dengan pemenuhan fasilitas dan operasional pendidikan di sekolah.

Selain itu, faktor penghambat yang berkenaan dengan penempatan guru maupun staf yang selama ini terjadi, menunjukkan bahwa pemetaan tenaga skill dan profesional belum lagi ada pada pihak Diknas setempat, bahkan menggambarkan bahwa fungsi-fungsi manajemen tidak berjalan sebagaimana mestinya, sehingga penempatan terkesan semaunya dan boleh jadi berbau KKN. Hal-hal semacam ini akan sangat mengganggu bagi efektivitas pelaksanaan manajemen sekolah dengan baik.

Atas dasar hal-hal yang dikemukakan di atas, maka pemberian kemandirian kepada sekolah dengan suatu perubahan pendekatan cara berpikir dalam melaksanakan manajemen sekolah, tidaklah cukup hanya sekadar pemberian konsep dan instruksi semata, tetapi harus pula diikuti dengan upaya-upaya lain yang kondusif dan konstruktif yang mampu meningkatkan kinerja sekolah serta berjalannya fungsi-fungsi manajemen sekolah dengan baik yang pada gilirannya akan bermuara pada mutu pendidikan yang dihasilkan.


O. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

1. Kesimpulan

Dari hal-hal yang dikemukakan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

a. Pola-pola pelaksanaan manajemen yang berjalan pada sekolah-sekolah dalam kaitannya dengan upaya pemberdayaan warga sekolah di wilayah Kota Bengkulu masih belum menunjukkan suatu perubahan yang berarti. Dalam pelaksanaannya pola manajemen yang berjalan masih bersifat rutinitas dan belum menunjukkan adanya terobosan-terobosan sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepada sekolah oleh manajemen yang belaku (MBS).

b. Dukungan Pemerintah Daerah terhadap pelaksanaan manajemen sekolah (MBS) belum memadai dibandingkan kebutuhan yang dihadapi oleh sekolah.

c. Fungsi-fungsi manajemen seperti perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pembinaan belum berjalan secara efektif baik pada manajemen sekolah maupun pihak penanggung jawab pendidikan di daerah.

d. Sikap profesional pada banyak guru masih sangat rendah, khususnya yang berkaitan dengan upaya peningkatan diri.

2. Rekomendasi

Berdasarkan deskripsi hasil dan pembahasan penelitian yang dikemukakan di atas, beberapa rekomendasi yang diajukan sebagai berikut ini:

a. Mutu pendidikan merupakan muara akhir dari pengelolaan manajemen pendidikan. Oleh karena itu, pembinaan dan dukungan terhadap sumber-sumber daya yang terkait dengan pelaksanaan manajemen pendidikan harus mendapatkan prioritas.

b. Pembinaan terhadap warga sekolah dan stakeholder harus dilakukan secara berkelanjutan guna meningkatkan partisipasi yang telah ditunjukkan saat ini.

c. Tidak membedakan sekolah dalam pemberian fasilitas maupun penempatan sumber daya guna meningkatkan sikap kompetitif sekolah.

d. Sekolah swasta merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam pembinaan sumber daya manusia. Oleh karena itu, perhatian yang lebih serius hendaknya diberikan kepada sekolah-sekolah swasta yang sangat mungkin dikembangkan dan dibina.

e. Pemetaan keberadaan tenaga kependidikan pada sekolah-sekolah perlu dilakukan, sehingga penempatan tenaga dapat dilakukan secara selektif dan tepat

DAFTAR PUSTAKA

Chapman, Judith (ed). School-Based Decision-Making and Management. The Falmer Press, Hampshire, United Kingdom. 1990.

Depdiknas. Manajemen Berbasis Sekolah untuk Sekolah Dasar. Jakarta: Depdiknas. 2002

Roger, Everett M., Diffusion of Innovations. New York: The Free Press. 1995.

Semiawan, Conny R., dan Soedijarto (ed) Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI. Jakarta: PT Grasindo. 1991.

Teori Maslow, (http//tuanmad.teripod.com/teorimaslow.html).

Umaedi. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas. 1999.

How Schools Make; School-Based Management Work. (http//www.ed/ gov/pubs/SER/ SchBasedMgmt/himodels.htm).

School-Based Management. (http//www.ed/gov/pubs/OR/ CostumerGuides/baseman. htm).

New Boundariesfos School-Based Managemen: The High Involvement Model. (http//www.ed/gov/pubs/SER/ SchBasedMgmt/himodels.htm).

Executive Summary:Getting School-Based Management Right; What Works And what Doesn’t. (http//www.ed/gov/pubs/SER/ SchBasedMgmt/ execsum.htm).



[1] Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pengakajian Manajemen Sekolah di Sekolah Dasar tanggal 9-10 di UNILA Bandar Lampung

[2] Staf Pengajar FKIP Universitas Bengkulu

Sabtu, 01 Desember 2007

PENGEMBANGAN MODEL BAHAN AJAR PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP BERBASIS LOKAL DALAM MATA PELAJARAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

PADA SATUAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR

ABSTRAK

Oleh

Syukri Hamzah

Penelitian ini bertujuan untuk menyusun model bahan ajar Pendidikan Lingkungan Berbasis Lokal. Metode yang digunakan didesain dengan pendekatan Research and Development dan direncanakan dilaksanakan selama tiga tahun. Pada tahun ke-1 ini metode yang digunakan adalah metode survey dengan sampel penelitian para pengguna bahan ajar dan masyarakat adat Rejang di wilayah Provinsi Bengkulu. Penelitian yang dilaksanakan menghasilkan (1) Kisi-kisi rencana isi materi bahan ajar Pendidikan Lingkungan Berbasis Lokal, (2) Panduan Penulisan Bahan Ajar Pendidikan Lingkungan Berbasis Lokal, dan (3) Buram bahan ajar Pendidikan Lingkungan Berbasis Lokal yang siap untuk diujicobakan pada tahun ke-2. Saran yang diajukan berdasarkan hasil penelitian adalah agar para guru lebih kreatif memanfaatkan sumber-sumber belajar yang ada di lingkungannya, khususnya dalam memanfaatkan pendekatan kontekstual dalam suatu proses pembelajaran.

Kata kunci: Pendidikan, Lingkungan, , Rejang, Lokal

PENDAHULUAN

Saat ini dampak dan hasil “pendidikan lingkungan hidup” yang dilaksanakan belum banyak dirasakan, baik oleh masyarakat maupun lingkungan. Berbagai permasalahan lingkungan hidup yang berakar dari perilaku manusia masih kerap kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi ini juga diakui oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup Indonesia (2004:3). Dalam hal ini, ia menyatakan bahwa “materi dan metode pelaksanaan pendidikan lingkungan hidup tidak aplikatif, kurang mendukung penyelesaian permasalahan lingkungan hidup yang dihadapi di daerah masing-masing.” Kondidi ini secara tidak langsung merupakan indikasi bahwa secara umum konsepsi pendidikan lingkungan hidup di sekolah baru pada tatanan ide dan insrtumental, belum pada tatanan praksis. Oleh karena itu, pengkajian terhadap model pembelajaran pendidikan lingkungan hidup yang telah dilaksanakan selama ini sangat perlu dilakukan, dalam arti bahwa kita perlu mengkaji perubahan strategi pembelajaran dan perubahan penyediaan pengalaman belajar pada peserta didik, guna mencari alternatif bentuk model pembelajaran yang lebih efektif. Keharusan untuk meninjau kembali tentang pelaksananan pendidikan lingkungan hidup juga ditekankan oleh soemarwoto (2001: 180-183), yakni:

Kita perlu meninjau kembali pelaksanaan pendidikan lingkungan hidup agar bahan pelajaran dapat diinternalkan dan melahirkan masyarakat yang bersikap dan berkelakuan ramah terhadap lingkungan hidup. Kelemahan yang ada selama ini adalah pelajaran lingkungan hidup terlalu berat pada ekologi dan tidak memasukkan hal-hal praktis dari kehidupan sehari-hari. Hal ini mengsisyaratkan bahwa realitas kongkret yang ada di lingkungan peserta didik merupakan sumber belajar yang perlu dimanfaatkan dalam pendidikan lingkungan hidup, agar pemahaman tentang permasalahan lingkungan hidup secara komprehensip benar-benar dapat dimiliki peserta didik.

Peluang untuk mempersiapkan suatu bahan ajar berbasis lokal sangat terbuka, terlebih lagi dengan diberlaku­kannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang akan berlaku efektif pada tahun ajaran 2008. yang telah memberikan rambu-rambu penerapan desentralisasi pendidikan dalam bidang kurikulum menggunakan prinsip “Kesatuan dalam kebijakan dan Keberagaman dalam Pelaksanaan”. Kesatuan dalam Kebijakan” terwujud dalam Ketentuan Umum, Standar Kompetensi Bahan Kajian, Standar Kompetensi Mata Pelajaran, beserta Pe­doman pelaksanaannya yang disusun secara nasional. Keberagaman dalam Pelaksanaan” terwujud dalam Petunjuk Teknis dan Silabus yang dikeluarkan oleh pihak Depdiknas.

Bila bertolak dari kebutuhan dan kondisi dari suatu wilayah atau daerah, pengembangan materi dan strategi pendidikan lingkungan hidup berbasis lokal sangat mungkin dilakukan karena setiap daerah menghadapi masalah yang berbeda dan mempunyai ciri karakteristik tersendiri, baik berkenaan dengan kondisi bentang alam, sumber daya alam, maupun kondisi sosial ekonomi serta budaya masyarakatnya.

Pengkajian terhadap bahan ajar dalam suatu proses pembelajaran merupakan hal yang cukup penting, seperti dinyatakan oleh Cunningswort (1995) bahwa suatu bahan ajar sangat berpengaruh terhadap suasana suatu proses pembelajaran. Di samping itu, kedudukan bahan ajar dalam proses pembelajaran memiliki beberapa fungsi, yaitu: (1) Pedoman bagi guru yang akan mengarahkan aktivitasnya dalam proses pembelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya diajarkan/dilatihkan kepada siswa, (2) Pedoman bagi siswa guna mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran sekaligus merupakan substansi kompetensi yang harus dikuasainya, dan (3) Alat evaluasi pencapaian/penguasaan hasil pembelajaran (Tim PUPBA-SMK, 1971). Kondisi lain yang mendukung pentingnya bahan ajar yang relevan dengan kebutuhan siswa adalah kenyataan bahwa siswa beraasal dari suatu kelompok masyarakat yang memiliki keanekaragaman sosial budaya, aspirasi politik, dan kondisi ekonomi tersendiri pula yang akan mewarnai skemata atau struktur mentalnya yang pada gilirannya akan berpengaruh pada proses pembelajaran dan hasil belajar yang ingin dicapai.

Atas dasar hal-hal yang dikemukakan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model bahan ajar Pendidikan Lingkungan Hidup berbasis lokal.

Pendidikan lingkungan hidup menurut konvensi UNESCO di Tbilisi 1997 adalah suatu proses yang bertujuan untuk menciptakan suatu masyarakat dunia yang memiliki kepedulian terhadap lingkungannnya dan masalah-masalah yang terkait di dalamnya serta memilki pengetahuan, motivasi, komitmen, dan keterampilan untuk bekerja, baik secara perorangan maupun kolektif dalam mencari alternatif atau memberi solusi terhadap permasalahan lingkungan hidup yang ada sekarang dan untuk menghindari timbulnya masalah-masalah lingkungan hidup baru (Gyally,2003:408). Sehubungan dengan hal ini, Yusuf (2000: 86), menekankan bahawa pendidikan lingkungan hidup harus mencerminkan upaya pembinaan kepada peserta didik agar memiliki sikap dan tingkah laku kependudukan, serta memilki kemampuan mengelolah lingkungan hidup secara rasional dan bertanggung jawab, guna memelihara keseimbangan sistem lingkungan dan penggunaan sumber daya alam secara bijaksana demi tercapainya peningkatan kesejahteraan hidup baik jasmani amupun rohani.

Adapun tujuan umum pendidikan lingkungan hidup menurut konferensi Tbilisi 1997 adalah: (1) untuk membantu menjelaskan masalah kepedulian serta perhatian tentang saling keterkaitan antara ekonomi, sosial, politik, dan ekologi di mota maupun di wilayah pedesaan; (2) untuk memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap, komitmen, dan kemampuan yang dibutuhkan untuk melindungi dan meperbaiki lingkungan, dan (3) untuk mencipatakan pola perilaku yang baru pada individu, kelompok, dan masayarakat sebagai suatu keseluruhan terhadap lingkungan (Gyallay, 2001: 409). Tujuan yang ingin dicapai tersebut meliputi aspek: (1) pengetahuan, (2) sikap, (3) kepedulian. (4) keterampilam, dan (5) partisipasi (gyallay, 201: 409). Hal yang senada dengan butir-butir tujuan ini juga dikemukakan oleh Yusuf(2000: 76), bahawa tujuan pokok yang hendak dicapai dalam pendidkan lingkungan hidup adalah: (1) membantu anak didik memahami lingkungan dengan tujuan akhir agar mereka memilki kepedulian dalam menjada dan melestarikan lingkungan serta sikap yang bertanggung jawab, (2) memupuk keinginan serta memilki keterampilan untuk melestraikan lingkungan agar dapat tercipta suatu sistem kehidupan bersama, di mana manusia dapat melestarikan lingkunagn dalam sistem kehidupan bersama dengan bekerja secara rukun dan aman. Oelh karena itu, pendidikan lingkungan hidup menurut Yusuf (2000: 86), harus didasarkan pada empat pilar pendidikan , yaitu: learning to know. Sedangkan Internasional Working Meeting On Environment Education Inschool Curriculum, dalam rekomendasinya mengenai pelaksanaa pendidikan lingkungan hidup, menyatakan bahwa proses pembelajaran yangbdilakuka hendaknya merupakan suatu proses mereorganisasi nilai dan memperjelas konsep-konsep untuk mmebina keterampilan dan sikap yang diperlukan untuk memahami dan menghargai antar hubungan manusia, kebudayaan, dan lingkungan fisiknya. Pendidikan lingkungan hidup harus juga diikuti dengan praktik pengambilan keputusan dan merumuskan sendiri ciri-ciri perilaku yang didasarkan pada isu-isu tentang kualitas lingkungan (Schmieder, 1977:25).

Atas dasar hal-hal yang dikemukakan di atas, maka proses pembelajaran pendidikan lingkungan hidup tidak cukup hanya disajikan melalui penyajian pengetahuan semata (telling science), tetapi perlu dikembanhgkan kegiatan pembelajaran yang memberi pengalaman belajar secara konstekstual terhadap hal yang dipelajari (doing science) atau kegiatan-kegiatan lain yang mampu mendorong peserta didik untuk mengembangkan kemampuan berpikir atau memecahkan masalah (thinking skill). Tillar (2000: 28) juga menekankan hal yang senada, yakni hakikat pendidikan adalah proses menumbuh-kembangkan eksistensi peserta didik yang memasyarakatm membudaya, dalam tata kehidupan yang berdimensi lokal, nasional, dan global.

Berkenaan dengan bahan ajar, menurut Dick & Carey (1996: 229) merupakan seperangkat materi/substansi pelajaran (teaching material) yang disusun secara sistematis, menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai oleh peserta didik dalam kegaiatan pembelajaran. Dalam kaitannya dnegan bahan ajar pendidikan lingkungan hidup, Hines.dkk. (1993: 2), dalam tulisannya “Global Issues and Environment Education”, memgidentifikasi empat elemen pokok yang harus ada dalam pendidikan lingkungan hidup, yaitu: (1) pengetahuan tentang isu-isu lingkungan; (2) pengetahuan tentang strategi tindakan yang khusus untuk diterapkan pada isu-isu lingkungan; (3) kemampuan untuk bertindakterhadap isu-isu lingkungan, dan (4) memilki kualitas dalam menikapi serta sikap personalitas yang baik.

Selanjutnya, kata “lokal” dalam konteks pengertian masalah yang dibahas di sini dimaksudkan sebagai lingkungan tempat peseta didik berdomisili, hidup, dan dibesarkan pada suatu kelompok masayarakat adat tertentu yang memilki suatu sistem nilai budaya tertentu pula. Sistem nilai budaya itu sendiri menurut koentjaraningrat (187: 11), terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Hal ini bermakna bahwa sistem nilai yang ada di masayarakat tersebut akan termanifestasikan dalam perilaku kehidupan masyarakat tersebut sehari-hari, baik itu terwujud dalam bentuk kearifan-kearifan lokal maupun tradisi atau lainnya.

Hal-hal yang diungkap di atas menunjukkan bahwa suatu kelompok adat memiliki tata nilai yang unik, baik yang berkaitan dengan pengelolaan alam maupun yang berkaitan dengan perikehidupan lainnya. Kelompok masyarakat adat tersebut juga memiliki kearifan dan pengetahuan yang unggul yang kondusif dan lestari, dan yang tak kalah penting bahwa kelompok masayarakat tersebut berhak untuk mengoperasikan kearifan dan pengetahuannya itu menurut pertimbangan dan aspirasinya.

Pada bahan ajar pendidikan lingkungan hidup yang berbasis lokal, tata nilai dan kearifan yang terpelihara di masyarakat dalam mengelolah lingkungan, merupakan salah satu sumber materi pembelajaran pendidikan lingkungan hidup itu sendiri. Seperti dikemukan oleh Tillar (199: 42-43), bahwa lingkungan adalah sumber belajar (learning resouurces) yang pertama dan utama. Proses belajar mengajar yang tidak memperhatikan lingkungan, juga tidak akan membuahkan hasil belajar yang maksimal. Berkaitan dengan ini Semiawan (1992: 14), menyatakan bahwa anak akan mudah memahami konsep-konsep yang rumit dan abstrak apabila dalam pembelajaran disertai dengan contoh-contoh yang kongkret, yaitu contoh yang wajar sesuai dengan situasi dan kondidi yang dihadapi.

Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa materi bahan ajar pendidikan lingkungan hidup berbasis lokal adalah materi pelajaran yang bersumber dari kondisi lingkungan hidup dan kehidupan nyata serta fenomena yang ada di lingkungan peserta didik yang disusun secara sistematis yang di dalamnya termasuk lingkungan fisik, sosial (budaya dan ekonomi), pemahaman, keyakinan, dan wawasan lokal peserta didik itu sendiri. Materi tersebut mengacu pada suatu kemampuan tertentu yang ingin dicapai sebagai hasil belajar pendidikan lingkungan hidup.

Di samping itu, teori-teori belajar yang ada sangat mendukung bahan ajar yang disusun berdasarkan kondisi dan fenomena lokal. Teori perkembangan kognitif Piaget menyatakan bahwa anak usia SD sangat bergantung pada referensi atau hal-hal yang konkret. Dalam hal ini, Piaget menjelaskan bahwa perkembangan kognitif itu sendiri merupakan suatu usaha penyesuaian diri terhadap lingkungan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi merupakan suatu tindakan pasif dalam membangun pengetahuan utama yang melibatkan penafsiran peristiwa dalam hubungannya dengan struktur kognitif yang ada. Sedangkan, akomodasi merupakan suatu pengetahuan yang baru yang mengacu pada perubahan struktur kognitif yang disebabkan oleh lingkungan. Pada sisi lain, teori belajar kognitif berasumsi bahwa setiap orang telah mempunyai pengalaman dan pengetahuan di dalam dirinya yang tertata dalam betuk struktur mental atau skemata. Teori belajar kognitif ini menyatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik apabila materi pembelajaran yang baru beradaptasi secara tepat dengan struktur kognitif yang telah dimiliki peserta didik. Dikemukakan oleh Slick (2002: 3), bahwa teori kognitif dapat berperan secara efektif dalam pembelajaran apabila peserta didik mempunyai pengalaman terhadap pokok bahasan atau yang area pengetahuanya berhubungan, tersedianya sumber daya untuk membantu pelajar mengkaitkan pokok bahasan dengan pengetahuannya, dan waktu pembelajaran tidak terbatas secara ketat.

Teori belajar konstektual, yang menyatakan bahwa belajar itu terjadi hanya ketika peserta didik memproses pengetahuan dan informasi baru sedemikian rupa, sehingga dapat dipertimbangkannya dalam kerangka acuan mereka sendiri (memori mereka sendiri, pengalaman, dan tanggapan), dan fokus belajar kontekstual itu sendiri adalah pada berbagai aspek yang ada di lingkungan belajar (Blanchard, 2001: 1). Karena itu, menurut teori kontekstual, proses belajar dan nilai informasi hendaknya didasarkan pada kebutuhan peserta didik, dan informasi yang disajikan hendaknya berhubungan dengan pengatahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Sedangkan, teori belajar konstruktif yang dikembangkan atas dasar premis bahwa kita membangun perspektif dunia kita sendiri melalui skema (struktur mental) dan pengalaman individu (Mergel, 1998: 9). Dalam hal ini, para ahli konstruktif percaya bahwa peserta didik membangun kenyataan mereka sendiri atau setidak-tidaknya menginterpretasikan sesuatu berdasarkan persepsi pengalaman peserta didik sendiri. Apa yang diketahui seseorang adalah didasarkan pada persepsi fisik dan pengalaman sosial yang dipahami oleh pikirannya (Mergel, 1998: 10) Dengan demikian, menurut teori konstruktif proses pembelajaran yang bermakna harus bermula dari pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik.

Dari keseluruhan teori belajar yang diungkapkan di atas, dapat disimpulkan bahwa bahan ajar yang dapat mendesain terjadinya interaksi antara peserta didik dengan lingkungan dapat diharapkan cukup efektif dalam pembentukan pemahaman dan perilakunya terhadap lingkungan. Hal ini pula yang menjadi salah satu ciri bahan ajar pendidikan lingkungan hidup berbasis lokal.

Bahan ajar yang efktif menurut Gerlach dan Ely sebagaimana dikutip oleh Karim (1980: 70) harus memenuhi sayarat: (1) ketepatan kognitif (cognitive appropriateness); (2) tingkat berpikir (level of shopisication)’ (3) biaya (cost); (4) ketersediaan bahan (availability); dan (5) mutu teknis (technical quality).

Sedangkan dalam hal pengembangan bahan ajar, Dick danCarey (1996: 228), mengajukan hal-hal berikut untuk diperhatikan, yakni: (1) memperhatikan motivasi belajar yang diinginkan, (2) kesesuaian materi yang diberikan , (3) mengikuti suatu urutan yang benar, (4) berisiskan informasi yag dibutukan, dan (5) adanya latihan praktek, (6) dapat memberikan umpan balik, (7) tersedia tes yang sesuai dengan materi yang diberikan, (8) tersedia petunjuk untuk tindak lanjut ataupun kemajuan umum pembelajaran (9) tersedia petunjuk bagi peserta didik untuk tahap-tahap aktivitas yang dilakukan, dan (10) dapat diingat dan ditranfer. Pendapat lain, Romiszowski (1986: 22) menyatakan bahwa pengembangan suatu bahan ajar hendaknya mempertimbangkan empat aspek, yaitu: (1) aspek akademik; (2) aspek sosial; (3) aspek rekreasi; dan (4) aspek pengembangan pribadi. Jolly dan Bolitho (dalam Tomsilon. ed, 1998: 96-97), mengajukan langkah-langkah pengembangan sebagai berikut: (1) mengidentifikasi kebutuhan materi yang perlu dibutuhkan (2) mengeksplorasi kondisi lingkungan wilayah tempat bahan ajar akan digunakan; (3) menentukan masalah atau topik yang sesuai dengan kenyataan yang ada di lingkungan peserta didik untuk diajarkan; dan (4) memilih pendekatan latihan dan aktivits serta pendekatan prosedur pembelajaran, dan (5) menulis rancangan materi bahan ajar.

Khusus tentang bahan ajar pendidikan kependudukan dan lingkungan hidup, Yusuf (2000: 86-87), mengajukan kriteria sebagai berikut: (1) masalah yang diberikan harus masalah yang esensial dan aktual tentang kependudukan dan lingkungan hidup dalam lingkungan masyarakat; (2) materi yang dipelajari dapat digunakan untuk membentuk sikap, perilaku, dan kepribadian sebagai manusia Indonesia yang berwawasan kependudukan dan lingkungan; (3) materi yang diberikan mempunyai relevansi dengan tingkat perkembangan, minat, kebutuhan, dan kemampuan peserta didik; (4) mempunyai relevansi dengan program pendidikan yang dijabarkan dalam kurikulum yang berlaku; dan (5) berfungsi sebagai pengembangan dan pengayaan terhadap program pendidikan yang ada dalam rangka membekali anak didik menghadapi dan memecahkan masalah kependudukan dan lingkungan hidup.

Pengembangan bahan ajar yang dilakukan dalam penelitian ini dengan mengikuti rambu-rambu yang dikemukakan dalam teori-teori yang telah dikemukakan di atas. Kerangka konseptual pengembangan bahan ajar yang akan dilakukan yang didasarkan pada kajian teori yang telah dikemukakan tersebut, dapat digambarkan dengan bagan di bawah ini:

Teori-teori Belajar

TUJUAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP


Kondisi dan Realitas Fenomena Lingkungan hidup

KEBUTUHAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP BERBASIS LOKAL

KURIKULUM YANG BERLAKU

RANCANGAN MODEL BAHAN AJAR PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP

COBA UJI MODEL BAHAN AJAR

MODEL BAHAN AJAR PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP BERBASIS LOKAL

PESERTA DIDIK


Bagan model pengembangan bahan ajar pendididkan lingkungan hidup berbasis lokal

METODOLOGI

Untuk memenuhi tujuan penelitian maka penelitian ini didesain dengan pendekatan “penelitian pengembangan” (Research & Development) yang menurut Borg & Gall (1983: 772), bahwa model penelitian pengembangan ialah suatu proses yang digunakan untuk mengembangkan dan memvalidasi produk-produk pendidikan, seperti materi pembelajaran, buku teks, metode pembelajaran, dan lain-lain yang dilakukan dalam suatu siklus penelitian dan pengembangan. Langkah-langkah penelitian pengembangan yang dikemukakan oleh Borg & gall (1983;773) adalah sebagai berikut: (1) penelitian pengumpulan informasi; (2) perencanaan; (3) membuat rancangan model awal; (4) uji coba pendahuluan; (5) revisi terhadap rancangan awal; (6) ujicoba produk utama; (7) revisi terhadap produk utama; (8) uji coba operasional; (9) revisi produk operasional; (10) diseminasi dan retribusi.

Mengacu pada langkah-langkah pengembangan di atas, maka pelaksanaan penelitian akan menggunakan tiga metode penelitian, yaitu survei, evaluasi, dan ekperimen. Penelitian itu sendiri direncanakan dilaksanakan selama tiga tahun (multi-years), yakni tahun pertama tahap penyusunan model, tahun kedua II tahap validasi model, dan tahun ketiga tahap uji efektivitas model.

Prosedur dan tahapan pengembangan model pada tahun pertama dilakukan rangkaian kegiatan sebagai berikut: (1) Mengkaji Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan bidang Pengetahuan Sosial SD; (2) Mengidentifikasi jabaran unsur-unsur pendidikan lingkungan dan kaitannya dengan kondisi dan fenomena lokal; (3) memadukan hasil 1 dan 2; (4) menyusun kisi-kisi intrumen pengumpulan data untuk menjaring need assesment pada pengguna dan masyarakat; (5) menganalisis data guna menyusun pokok bahasan berdasarkan analisis hasil pengumpulan data lapangan; (6) menyusun buram naskah bahan ajar Pendidikan Lingkungan Berbasis Lokal yang siap untuk diujicobakan pada tahun kedua.

Populasi penelitian ini adalah pengguna bahan ajar dalam hal ini guru SD yang meliputi empat wilayah kabupaten, yaitu Bengkulu Utara, Kepahiyang, Rejang Lebong dan Lebong dan masyarakat adat Rejang yang berdomisili di wilayah tersebut.

Sampel untuk pengumpulan data taksiran kebutuhan menggunakan responden sampel berlokasi di dua kabupaten yakitu Kabupaten Kepahiyang dan Kebupaten Rejang Lebong yang ditetapkan berdasarkan teknik purposif dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Lebong pernah dilakukan penelitian untuk hal yang sama pada penelitian terdahulu yang hasilnya dapat digunakan sebagai bahan kelengkapan acuan penyusunan bahan ajar. Sedangkan Kabupaten Bengkulu Utara, penduduknya masyarakat Rejang relatif sedikit, mayoritas penduduknya adalah suku lembak dan suku-suku pendatang lainnya, sedangkan adat dan keadaan komunitas masyarakat Rejang yang ada relatif sama dengan masyarakat Rejang di wilayah Kabupaten yang menjadi sampel. Responden sampel sebagai subjek sumber data dipilih sebanyak 20 orang anggota masyarakat/tokoh masyarakat dan 30 orang guru SD.

Materi instrumen taksiran kebutuhan bahan ajar mencakup empat aspek, yakni berkenaan dengan masalah ekologi, sosial, ekonomi, dan budaya. Instrumen yang digunakan dalam survei adalah angket dengan skala tiga. Sedangkan analisis data

taksiran kebutuhan secara deskriptif dengan persentase. Hasil analisis tersebut digunakan sebagai acuan untuk menyusun materi bahan ajar berbasis lokal.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial SD, yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Nomor 22 tahun 2006 tentang tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah adalah agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:

1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya

2. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial

3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan

4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.

Sedangkan ruang lingkup mata pelajaran IPS meliputi aspek-aspek sebagai berikut.

1. Manusia, Tempat, dan Lingkungan

2. Waktu, Keberlanjutan, dan Perubahan

3. Sistem Sosial dan Budaya

4. Perilaku Ekonomi dan Kesejahteraan.

Tujuan dan ruang lingkup mata pelajaran IPS yang dikemukakan di atas, yang kemudian diturunkan dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ingin diwujudkan, setelah ditelaah dengan seksama berdasarkan tujuan dan materi pendidikan lingkungan, dapat diidentifikasi butir-butir materi pembelajaran yang berkaitan dengan pendidikan lingkungan untuk kelas 1 sampai dengan kelas 4. Hasil kajian tersebut selanjutnya digunakan sebagai dasar penyusunan judul pokok bahasan, uraian materi, dan kegiatan latihan yang diberikan setiap akhir pokok bahasan pada bahan ajar yang diperkaya dengan sumber informasi yang diperoleh dari respon masyarakat.

No

POKOK BAHASAN

SUB POKOK BAHASAN

1

Lingkungan Alam

Kenampakan alam dan gejala-gejala alam,

Keberadaan, pemanfaatan, dan pengelolaan Sumber Daya alam serta dampaknya

Keberadaan flora dan fauna serta pengelolaan dan pemanfaatannya

2

Lingkungan Sosial Budaya

Keluarga, masyarakat, dan lingkungan.

Keberadaan budaya lokal dan peranannya di masyarakat

Situs sejarah dan lingkungan

Macam teknologi produksi dan transportasi

Dampak teknologi terhadap kegiatan masyarakat dan lingkungan

3

Lingkungan Sosial Ekonomi

Bentuk-bentuk kegiatan ekonomi masyarakat

Dampak kegiatan ekonomi masyarakat terhadap lingkungan

Dampak kondisi alam terhadap kegiatan ekonomi di masyarakat

Secara keseluruhan kisi-kisi topik pokok bahasan bahan ajar yang disusun berdasarkan hasil kajian dimaksud mencakup hal-hal berikut:

Sedangkan isi materi setiap pokok bahasan dari bahan ajar didasarkan pada standar kompetensi yang ditetapkan dalam kurikulum serta keterkaitannya dengan kenyataan dan fenomena lokal yang di wilayah peserta didik. Sumber-sumber bahan ajar yang dipilih adalah yang disepakati oleh guru lebih dari 80%.

KESIMPULAN DAN SARAN

Penelitian tahun ke-1 ini menghasilkan buram bahan ajar Pendidikan Lingkungan berbasis lokal. Buram ini terdiri dari contoh bahan ajar Pendidikan Lingkungan dan buram panduan penulisannya. Bahan ajar tersebut dikembangkan berdasarkan hasil kajian yang dilakukan terhadap Kurikulum yang berlaku (KTSP) untuk mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial SD, need assesment, serta fenomena dan kondisi masyarakat adat Rejang di wilayah Rejang Lebong, Lebong, dan Kepahiyang.

Simpulan yang dapat diambil dari kajian kurikulum, need assesment, dan fenomena dan kondisi masyarakat lokal adalah sebagai berikut:

1. Lingkup konsep materi Pendidikan Lingkungan dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial SD mencakup masalah lingkungan alam, lingkungan sosial budaya, dan lingkungan sosial ekonomi. Materi bahan ajar tersebut terintegrasi dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial SD.

2. Bahan ajar Pendidikan Lingkungan berbasis lokal sangat dibutuhkan pada SD di wilayah Rejang Lebong. Hal ini ditandai oleh persetujuan para guru yang secara keseluruhan menyetujui alternatif materi bahan ajar yang bersifat lokal yang mendekati 100%.

3. Sumber penyusunan bahan ajar adalah kenyataan dan fenomena yang terdapat di lingkungan yang sudah dikenal oleh perserta didik.

Berkenaan dengan temuan penelitian ini, hendaknya disadari secara sungguh-sungguh bahwa lingkungan yang ada di sekitar peserta didik merupakan sumber belajar yang cukup baik dimanfaatkan, terutama dalam pembelajaran dengan pendekatan kontekstual. Oleh karena itu para guru hendaknya kreatif memanfaatkan sumber-sumber belajar yang ada di lingkungan peserta didik. Materi Pendidikan Lingkungan yang bersumber dari lingkungan peserta didik akan menjadi jembatan bagi pengenalan konsep-konsep lingkungan serta upaya menanamkan sikap peduli terhadap lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Adimihardja, Kusnaka (ed). 1999. Petani Merajut Tradisi Era Globalisasi: Pendayagunaan Sistem Pengetahuan Lokal dalam Pembangunan. Bandung: Humaniora Utama Press.

Alkarhami, Suud karim. Program PKLH Jalur Sekolah: Kajian dari Perspektif Kurikulum dan Hakekat belajar-Mengajar. (http//www.pdk.go.id/ Balitbang/ Publikasi/jurnal/ No.026/ Program_PKLH_Suud_Karim, htm).

Azwar, Saifuddin. 2001. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

--------------------. 2000. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Black, James A., Dean J. Champion. 1992. Metode dan Masalah Penelitian Sosial (terjemahan: E.Koeswara dkk). Bandung: PT Eresco.

Borg, Walter R, dan Meredith D. Gall. 1983. Educational Research An Introduction. New York: Longman

Campbell, Donal T & Julian C. Stanley. Experimental and Quasi Experimental design for Experiment. Chicago: Rand McNally & Company.

Chiras, Daniel D. 1991. Enviromental Science: Action for a Sustainable Future. California: The Benyamin/Cummings Pub.Co.Inc.

Constructive Learning. http/ed.swau.ed/England/theories_learning/assig-ment_5htm.

Cunningsworth, Alan. 1995. Choosing Your Course Book. Oxford: Heinemann.

Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi, Pendidikan Prasekolah, Dasar, Menengah: Ketentuan Umum. Jakarta.

-----------------. 2003. Krikulum 2004, Ilmu pengetahuan Sosial Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidayah. Jakarta.

-----------------. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 22, 23, dan 24 tahun 2006.

De Young R. Environmental Psychology. http//www. Environmental.psychology. Com

Dick, Walter dan Lou Carey. 1996. The Systematic Design of Instruction. New York: Longman.

Environmental Education Curriculum. http/www.sou.edu.au/schools/edu/ stu-dent_pages/ 1999/envdcurriculum.htm.

Firdausy, Carunia Mulya (ed). 1998. Dimensi Manusia Dalam pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Freire, Paulo. 2001. Pendidikan yang Membebaskan. (terjemahan). Jakarta: Melibas.

Genetic Epistemology (J.Piaget). http//www.tip. psycology.org/piaget.html.

Goble, Frank G. 1987. Mazhab Ketiga:Psikologi Humanistik Abraham Maslow. (terjemahan). Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Global Issues and Environmental Education. 1993. http/www.eriese.org/erie/ digest/digest_e05/html.

Gustafon. 1981. Survey of Instructional Development Model. Georgia: Clearing House on Information Resources, Sycracuse University.

Hasan, S. Hamid. 2000. “Pendekatan Multikultural Untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Oktober 2000, Tahun ke-6 No.026. pp 510-524.

Hadi, Sudharto P. 2000. Manusia dan Lingkungan. Semarang: Badan Penerbit Universitas Dipenogoro.

Hungerford HR & Volk Trudi L. 1990. “Changing Learner Behaviour Trough Environmental Education”, The Journal of Environmental Education. Vol 21.

Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Kebijakan Pendidikan Lingkungan Hidup. Jakarta.

Keraf, Sony. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Koentjaraningrat. 1987. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.

Karim, Mariana. 1980. Pemilihan Bahan Pengajaran. Jakarta: Penlok P3G.

Learning and Learning Theory. http//hagar.up.ac.za/catts/learner/leonb/lear-ning_and_ learning_theory.htm

Moore, MG dan Kearsley G. 1996. Distance Education: A System View. Woodsworth: USA

Nazir, Moh. 1999. Metode Penelitian. Cet.4. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Nirwana. 1996. Lingkungan Sebagai Sumber Belajar Untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA di SD (Studi Eksprimen pada Siswa SD Kelas V di SDN 52 Bengkulu). Tesis S2. Bandung: IKIP Bandung.

-----------------. 1999. Model Pendekatan Lingkungan untuk Memahami IPA SD di Wilayah IDT Kabupaten Bengkulu Selatan. Bengkulu: Lembaga Penelitian Universitas Bengkulu.

Pap, Peter Gyallay. Environment: ETAP Reference Guide Book, Chapter 13. http//www.un.org.kh/fae/pdfs/section4/chapterxxx3/33.pdf.

Piaget’s Stage Theory of Development. http//www.psych.ualbertha.ca%/ Emika/ Pearl_street/Dictionary/Content/P/piaget’s_dtages.html.

Piaget’s Theory of Cognitive Development. http//www.nova.edu/~walpole/ frame_ control_ webquest. htm

Putrawan, I Made. 1990. Pengujian Hipotesis dalam Penelitian-Penelitian Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.

------------------------1996. Peranan Pendidikan Lingkungan dalam Membentuk Warganegara Berwawasan Lingkungan. Makalah.

Romiszowski. 1986. Developing Auto Instructional Materials. Philedelphia: Nicolas Publishing.

Sadtono. 1979 “Teknik Cloze: Sebagai Alat Pengukur Dalam Bahasa”. Pengajaran Bahasa dan Sastra, Tahun II, No.6.

Schmieder, Allen A. 1977. “The Nature and Philosophy of Evironmental Education: Goal and Objectives”, Trends in Environmental Education. (UNESCO).

Siegel, Sidney 1992. Statistik Nonparametrik Untuk Ilmu-ilmu Sosial (terjemahan). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Singarimbun, Masri & Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.

Soekamto, Toeti dan Udin Saripudin Winataputra. 1997. Teori Belajar dan Model-Model Pembelajaran. Jakarta: P2T Universitas Terbuka.

Soemarwoto, Otto. 2001. Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Gadjahmada University Press.

Soerjani. 2003. Paradigma Ilmu Lingkungan sebagai Dasar Pengembangan Kurikulum Pendidikan, Makalah. Semiloka Pengembangan Kurikulum PKLH Parogram Pascasarjana UNJ. Jakarta.

Suminar, Panji. 2001. Model Komunikasi, Informasi dan promosi (KIP) Konservasi dan Pelestarian Berbasis Pengetahuan Lokal di desa-desa Sekitar Kawasan Taman Nasional Kerinci seblat di Kabupaten Rejang Lebong Propinsi Bengkulu. Bengkulu: Lembaga Penelitian Universitas Bengkulu.

Tilaar, HAR. 2000. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Tilaar, HAR. 1999. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Tim Studi Pengembangan Buku pegangan Sekolah Menengah Kejuruan. 1997. Pedoman Umum Pengembangan Bahan Ajar Sekolah Menengah Kejuruan. Yogyakarta: FPTK-IKIP.

Tomsilon, Brian. 1998. Material Development in Language teaching. Cambridge: Cambridege University.

Vetch, Russel dan Daniel Arkkelin. 1995. Environmental Psychology. New Yersey: Printice-Hall.

What is Contextual Learning and Teaching. http//www. Texascol-laborative.org/ WhatsCTL.htm.

Yusuf, Maftuchah. 2000. Pendidikan Kependudukan dan Etika Lingkungan. Yogyakarta: Lembaga Studi dan Inovasi Pendidikan,